This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, March 4, 2014

Kejuaraan beladiri lintas beladiri. Menurut Anda..?


Mulai tahun 2013 ramai sekali di bicarakan tentang event pertarungan lintas beladiri yang di adakan di salah satu stasiun televisi. Banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat tentang hal ini karena berkaca dari beberapa tahun silam tentang smack down yang banyak ditiru oleh anak dan tidak sedikit menjatuhkan korban, bahkan sampai ada yang meninggal. Tapi di pihak penyelenggara membantah akan kecemasan di kalangan masyarakat ini, karena tujuan dari diselenggarakannya acara tersbeut adalah untuk memberi wadah bagi mantan-mantan atlet beladiri yang ingin mengasah kemampuannya lagi.

Terlepas dari semua itu, menurut pribadi saya sendiri kurang setuju atas kejuaraan lintas beladiri tersebut. Saya tidak melihat dari segi seni dari beladiri itu sendiri, itu seperti pertarungan jalan yang tidak punya aturan. Dan saya rasa itu juga tidak adil, kenapa...? Kejuaraan tersebut di ikuti oleh berbagai macam beladiri dan tentunya setiap beladiri tersebut memiliki spesialis sendiri-sendiri, misalnya gulat tentu spesialisisnya bantingan, judo spesialisasi kuncian dan bantingan, taekwondo spesialisasi tendangan dan masih banyak lagi.

Misalnya salah satu di pertemukan tentu mereka akan kualahan dan terkesan tidak asik dilihat. Kalaupun para praktisi beladiri tersebut ingin mencoba atau menguji kemampuannya dengan beladiri lain kenapa tidak mengunjungi tempat latihan beladiri tersbeut dan memakai gaya bertarung beladiri yang akan di lawan dan begitu sebaliknya.

Saya berfikir bahwa, mengikuti beladiri semata-mata untuk membina mental, jikalaupun ingn berprestasi kenapa harus di event-event seperti itu? Bukankah setiap beladiri yang kita ikuti memiliki kejuaraan sendiri dan tentu juga menggunakan aturan-aturan sesuai dengan spesialisasi dari beladiri itu sendiri. Beladiri bukan alat mencari uang untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan bisnis orang-orang berduit.

Penjelasan diatas adalah cara pandang saya terhadap kejuaraan lintas beladiri, Jika teman-teman memiliki pandangan yang lain mohon komentarnya.

Oss...

Monday, February 24, 2014

Pengalaman dan Tingakatan dalam beladiri

Oss...

Salam sejahtera untuk kita semua, sudah lama gak pernah update lagi neh. semoga kali ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya admin sendiri.

Saya mengangkat tema "PENGALAMAN DAN TINGKATAN DALAM BELADIRI", iya.. ini tema yang menurut saya cukup menarik karena sering sekali saya temui di setiap perguruan beladiri yang saya masuki dan ikut berlatih disana. Saya pernah ikut beladiri silat sejak saya SMP dan sampe Kuliah D1, Yang menarik adalah ada salah satu teman seperguruan saya yang sekaligus adalah kakak seperguruan kita menyebutnya karena beliau sudah lama sekali ikut beladiri silat tentunya, tapi setiap kenaikan tingkat belaiau tidak pernah ikut dan tertarik.

Karena beliau tidak pernah ikut ujian kenaikan tingkat yang diadakan tiap perguruan perkuartal maupun persemester akhirnya adik-adik seperguruannya meninggalkannya atau menyalipnya. Nah...suatu ketika saya bertanya kepada beliau perihal tidak pernah mengikuti ujian yang diadakan perguruan, dan jawabannya juga cukup menarik dan menggelitik karena ternyata pelatih kami juga mempunyai pola pikir yang sama atau mungkin saja di tulari. Alasannya adalah tingkatan dan warna sabuk tidak menjamin orang tersebut kuat karena yang terpenting adalah pengalaman. 

Oke...Karena waktu itu pikiran saya belum berkembang dan kritis akhirnya saya mengiyakan. Beliau tidak ikut ujian bukan karena tidak cukup biaya untuk mengeluarkan uang iuran untuk ujian tapi karena prinsipnya tersebut. Setelah 6 tahun di silat saya masuk beladiri lain selama 4 tahun dan masih aktif juga di silat. Akhirnya sampai juga saya di jogja dan ikut beladiri baru lagi yaitu Pembinaan Mental Karate Kyokushinkai Karate-do Indonesia. setelah ikut latihan selama 1 Tahun lebih saya cukup mengerti bahwa perjalanan untuk mencapai tingkatan tertentu cukup lama dan harus banyak menghafal KATA dan fisik yang bagus. Dari sinilah saya berfikir bahwa pengalaman didapat dari seberapa sering kita dan seberapa lama kita latihan tetapi jika hanya pengalaman saja tidak cukup menurut saya, ujian kenaikan tingkat atau ke tingkatan selanjutnya juga menentukan penglaman yang akan kita dapat. 

Jika kita hanya terus menerus di tingkatan tersebut dna tidak mau ikut kenaikan tingkatan maka ilmu yang kita dapat dari segi teori maupun praktek atau KATA hanya itu-itu saja atau monoton. Jika pun harus KUMITE belum tentu tiap hari kita kumita kan..? 
Nah.. Pelatih atau Coach juga akan memberikan kita materi baru menurut tingkatan kita masing-masing alias warna sabuk bukan karena pengalaman, bukankah dengan warna sabuk atau semakin tinggi tingkatan kita akan semakin menambha pengalaman dan wawasan serta ilmu yang akan kita dapat?

Nah dari sinilah saya mulai berfikir bahwa pemikiran teman-teman saya maupun pelatih saya waktu itu salah, mungkin kita juga punya pandangan serta prinsip yang berbeda-beda, tapi warna sabuk bukanlah menentukan seorang karateka itu kuat atau berpengalaman tetapi seberapa sering dy latihan dan melakukan KUMITE. Tingkatan DAN 1, DAN 2, DAN 3 kalau tidak pernah latihan sama juga dengan Kyu 10/9 atau yang lain. Ilmu beladiri harus terus diasah dan dilatih agar semakin tajam dan mantap. Naik ketingkatan selanjutnya bukan juga sebuah ambisi tapi cita-cita dan masa depan suapaya ada generasi selanjutnya yang akan melanjutkan. Tapi Jika kita hanya tetap pada tingkatan tersebut maka generasi selanjutnya juga tidak akan ada. Posting ini hanyalah pemikiran prbadi saya, jika memang ada yang keliru atau kurang pas saya mohon maaf, hanya ingin berbagi. Kalau ada teman-teman yang mau menambahkan bisa kirim artikelnya ke email website ini ke kyokushinkaipmk@gmail.com.

Semoga postingan kali ni bisa bermanfaat bagi pembaca atau pengunjung website ini. 

Ossu...

Tuesday, February 18, 2014

Film : Fighter in the wind

At the tail-end of World War II, Choi Bae-dal is a young Korean man who longs to be able to fly fighter planes. Stowing away to Japan in order to join their air force, Bae-dal's first experience of the country is when a con-man tries to steal his money. Bae-dal discovers that the man is a fellow Korean called Chun-bae (Jung Tae Woo), who has survived the harsh treatment of Koreans in Japan by turning to petty crime. With their different motives: Bae-dal driven by desire for action and Chun-bae needing to escape from some gangsters, the two Koreans stow away in a truck to the air force training camp.

The commander in charge of the camp is a pompous imperialist called Kato (Masaya Kato). Having mistreated the two Koreans, he is amused by Bae-dal's fighting spirit and says that if Bae-dal can beat him with his inferior "foreign" fighting style, he will release them. The two men fight with Kato easily defeating Bae-dal, but an American attack on the airforce base allows Bae-dal and Chun-bae to escape.

Later, Bae-dal is found helping Chun-bae to run a pachinko stall in a Japanese market place. When local gangsters try to take protection money from Chun-bae, Bae-dal tries to defend him but is beaten up and humiliated by the gangsters. His ordeal is ended by the intervantion of Bum-soo (Jung Doo-hong), a martial arts expert from his home town who had also emigrated to Japan. Bum-soo invites Bae-dal back to the circus where he, and many fellow Korean immigrants, work and where he is attempting to build a decent standard of living for his countrymen. After some persuasion, he agrees to teach Bae-dal some of his more sophisticated fighting style.

Meanwhile, Bae-dal has taken to working as a rickshaw driver, honing his fighting skills by defending Japanese women from the rapacious advances of American servicemen. His success at protecting the women makes him something of a local hero, although his real identity is not known. One of the women he protects is the beautiful Yoko (Aya Hirayama), with whom he strikes up a romantic relationship.

When Bum-soo is killed by local gangsters, the Koreans from the compound vow revenge and attack the Japanese gangs. The fight ends abruptly for Bae-dal when he is knocked unconscious by a blow to the head. Bae-dal, vowing to never again lose a fight, retreats to the mountains where, living in his karate gi, he trains day and night; running in the mountains, lifting tree trunks and using makeshift training equipment to harden his body and fighting spirit through austerity.

Returning from the mountains, Bae-dal takes a Japanese name: Masutatsu Oyama, and sets about challenging the best fighters Japan has to offer. Wearing his ragged karate gi and looking like a cave-man with his unkempt appearance, Oyama challenges the first dojo he passes. He defeats every fighter in the dojo - often with only a single strike.

As word of his notoriety spreads, Oyama's actions come to the attention of the head of the Japan Karate Association - the former Air Force camp commander Kato. Kato is hugely offended that a foreigner would not only try to learn Japanese martial arts, but would consider himself worthy to beat Japanese fighters. Nevertheless, Oyama continues to defeat every fighter that Japan has to offer, including competitors in karate, judo, ninjutsu and kobudo, becoming a sensation in the Japanese media. Oyama explains to Yoko that, although he is scared of dying, he is more scared of living as a cripple, and this is why he is willing to sacrifice anything to win.

When the organization sends one of his followers to challenge and kill Oyama, the agent is instead killed by Oyama. Learning that the man he killed had a wife and son, Oyama feels a great deal of guilt for his actions and tracks down the family to apologise and offer to work for them to make up for killing the father of the household. Oyama surrenders his uniform to the wife, vowing to never again fight in martial art duels. Although initially angry and unaccepting of Oyama's offer, after fulfilling the son's wish of being carried to the top of the nearby mountain to view the sunrise, he eventually convinces them that he is a man of honour and not a violent thug. The wife asks Oyama to take back his uniform and become the best fighter in Japan.

Returning to the city, Oyama finds that Kato's martial arts association has threatened his own family (Kato is not involved) and demanded a challenge between Kato and Oyama. Dressing in his weathered gi once again, Oyama treks out to the countryside location where Kato is waiting for him. Easily defeating Kato's henchmen, Oyama then faces a final showdown with Kato himself. Although it is clear that Kato would like to see Oyama dead, Kato's ankle is broken after receiving a kick in the fight sequence. When Kato stands up, he falls to a one-knee-down position, Oyama shows mercy to Kato, by stopping 2 cm short of punching him squarely between the eyes, defeating him in combat but not killing him.

At the end of the movie, Oyama is shown fighting with a bull, grasping the horns and digging into the ground to stop him, and finally delivering a bone-shattering chop to the center of the top of the head. (En Wikipedia)

Tuesday, January 28, 2014

75 Karateka Bentrok di Kejurnas Full Body Contact 2014


Sebanyak 75 karateka ikut tarung di Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Full Body Contact 2014 di Mall Lenmarc, Surabaya, Minggu (26/1/2014). Para peserta berasal dari tiga perguruan yang datang dari 10 provinsi di Indonesia.

Ketiga perguruan adalah  PMK kyushinkai, Goju Ass dan Kala Hitam. Sedangkan 10 provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Jawa Tengah, DI Aceh, Jawa Barat, Papua, Kalimantan Timur, DI Yogjakarta Kepulauan Riau dan tuan rumah Jawa Timur.

Acara dibuka Pangkostrad Letjen Gatot Nurmantyo. Dia memberi apresiasi tinggi terhadap event ini.
"Saya berharap kejurnas full body contact dapat digelar rutin setiap tahun, karena tujuannya memang baik. Soal tempat, kita serahkan kepada PB FORKI (Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia," kata Gatot, Minggu (26/1/2014).

Gatot sangat mendukung kejuaraan tersebut karena dinilai bisa melahirkan pemuda-pemuda yang punya jiwa patriotisme tinggi.

"Saya mendukung, karena olahraga bela diri apapun untuk membela bangsa. Even ini bisa melahirkan patriot-patriot baru yang dapat membela bangsa dan negara," tegas Gatot.

Sementara itu, Ketua Umum PB FORKI Hendardji Supandji memastikan Kejurnas Full Body Contact yang memperebutkan Piala Pangkostrad, nantinya digelar secara rutin setiap tahun.

"Soal tempat penyelenggaraan tahun depan, nanti dibahas di Kongres FORKI pada Februari," terang Hendardji.(http://surabaya.tribunnews.com)
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com